Rabu, 03 Januari 2018

Belai Bisik, Lumur Peluh

Oleh: Shelvia



Tumpukan segepok uang di atas meja membuat Ratih tiba-tiba merasa mual. Semenit yang lalu ketika temannya meletakkan uang itu, perasaannya masih senang, entah mengapa sepeninggal Susi hatinya menjadi tidak karuan. Ratih merasa takut bahkan hanya sekedar melirik. Tumpukan kertas-kertas berharga itu seolah memarahinya keras sekali, mengundang kepanikan yang menyerang tepat pada dada perempuan berambut panjang itu. Debar jantungnya meningkat seiring dengan semakin lama ia menatap uang pemberian Susi atas sebuah mayat.



Sebuah gerakan cepat membuatnya terlonjak dari kursi sofa. Si Meong bergerak-gerak di pangkuan Ratih dan menggosokkan kepalanya berulang kali pada kaki tuannya, berusaha mencari perhatian. Segera saja gadis itu memeluk si Meong yang mendengkur keras sekali. Ia berdiri, kesulitan mengendalikan keagresifan si Meong dalam pelukannya seraya mengambil tumpukan uang di atas meja.



Ratih menggendong si Meong dan kerepotan membawa uang itu ke kamar tidur. Begitu masuk kamar, tiba-tiba ia mendengar pintu terbanting keras dan tertutup. Ratih terkejut, menjatuhkan tumpukan uang dan kucingnya yang langsung berlari. Gadis itu menoleh ke belakang memandang pintu yang ternyata masih terbuka. Tubuhnya gemetar oleh rasa takut yang semakin meningkat. Perlahan, ditutupnya pintu itu pelan-pelan dengan memejamkan mata. Ketika ia membuka mata, Ratih berteriak tertahan melihat bayangan putih berambut panjang. Rasa jengkel dan takut menguasai hatinya. Menyesal telah memasang cermin di balik pintu, menyesal memakai daster terusan berwarna putih, dan menyesal tidak memotong rambut.



Gadis itu menyusul si Meong di atas ranjang, melupakan uang yang berserakan. Memeluk kucingnya erat-erat, Ratih sangat tidak nyaman berbaring di sana. Maka ia bangun, memperhatikan kamarnya dari sudut satu ke sudut yang lain. Secara fisik kamar ini memang kamarnya, tetapi hawa dan nuansa yang terasa bukan lagi sebagai kamar seperti biasanya. Entah mengapa ada hawa lain yang terembus. Hawa ketakutan, dingin, mencekam. Hawa rasa bersalah. Diperhatikannya jam dinding yang rasanya berdetak terlalu lambat. Apakah baterai jam dinding itu sudah habis? Masih terlalu sore untuk menenggelamkan diri dalam mimpi di atas ranjang. Mama dan Papa juga belum pulang. Ratih mengumpat dalam hati menyesal telah menemui Reno hari ini.



Tadi siang, seorang lelaki tampan berkumis tipis bermata sipit kekasih Ratih yang dicintai dan dibanggakannya habis-habisan itu memutuskan hubungan secara sepihak. Mendengarnya, antara terkejut dan marah, Ratih gelap mata. Ia langsung pulang mengendarai mobilnya dengan kalap, sehingga pada suatu jalan yang sepi, ia menabrak seorang pemuda yang sedang menyeberang jalan. Gadis itu keluar dari mobil dengan kepanikan menjadi-jadi sambil mengamati lingkungan. Sama sekali tidak ada kendaraan lain yang lewat.



Darah yang mengalir dari kepala pemuda itu menggetarkan perasaan Ratih, merembet menggetarkan bibirnya. Gadis itu menangis sendiri, betapa ia menyesal telah berkendara ugal-ugalan. Takut-takut, ia mendekati pemuda itu dan mengamati wajahnya yang rasa-rasanya tidak asing. Ratih mengambil tas kumal berdarah milik pemuda ini. Tak ditemukan barang lain kecuali sebuah rajutan sapu tangan berenda bertuliskan sebuah kata: Anan.



Sambil meredam degub jantungnya yang tidak beraturan, Ratih memberanikan diri memandang wajah lelaki itu. Seketika ia terlanda rasa kejut yang teramat. Ia merasa pernah melihat lelaki ini di sekitar kampus. Tepatnya berada di perpustakaan. Terbayang waktu itu dirinya sedang kebingungan dengan birokrasi peminjaman buku di perpustakaan, sedangkan buku itu harus cepat dibaca, laki-laki itu datang. Tidak mengenal sebelumnya, tiba-tiba merebut buku dan kartu pinjam perpustakaan Ratih, lalu mengurusnya pada pelayan perpustakaan dengan cepat. Diam. Tanpa kata. Setelah itu ia memberikan buku itu, lalu pergi. Tanpa sapa. Tanpa basa-basi. Sungguh pria pendiam. Misterius.



Ratih menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha mengusir bayangan kebaikan pemuda itu di tengah kebingungan yang melandanya sendirian. Dan apa balasan yang diberikannya? Memberikan kematian tanpa aba-aba. Tanpa sempat ia mengucapkan terima kasih dan beribu maaf. Semua ini karena Reno!



Tangan gadis itu bergetar menggenggam sapu tangan Anan. Telepon genggamnya bernyanyi kecil di saku belakang. Ia segera menjawabnya.



“Kamu di mana, Tih?” sapa Susi di seberang sana.



Oh, Susi! Ia tahu seketika bagaimana mengatasi masalahnya sekarang. Segera saja Ratih memberitahukan lokasi sekaligus bernegoisasi mengenai tawaran uang yang tinggi. Susi kegirangan mendengar ucapan Ratih dan segera saja menyusulnya.



***



Siluet cahaya mengantarkan Ratih bertemu dengan Anan di depan perpustakaan. Ketika ia masih bingung dengan keadaan ini, pemuda itu sudah tersenyum padanya. Senyum yang indah, Ratih baru menyadari bahwa Anan adalah lelaki berwajah tampan. Lihatlah giginya yang gingsul manis itu. Lama, ditatapnya Anan penuh kebingungan sekaligus kekaguman. Laki-laki menawan itu mendekatinya.



“Gimana dengan bukunya tadi? Maaf ya, aku sedang buru-buru, jadi kurebut saja bukumu tadi.” Katanya lembut.



Ratih hanya menunduk, lalu mengangguk kecil. Tersenyum malu.



“Namaku Ananta. Siapa namamu?”



Tangan Anan menjulur lembut, tetapi secara perlahan tangan itu bukan berniat ingin berjabat, malah semakin mendekat pada leher Ratih. Senyumnya yang tulus berubah menjadi seringaian menyeramkan. Tiba-tiba giginya yang gingsul manis itu semakin memanjang menjadi taring runcing yang berebut keluar dari mulutnya.



“KEMBALIKAN JASADKU!”



Kumparan cahaya menarik tubuh Ratih kembali menuju kenyataan melewati lorong-lorong gelap bertitik satu cahaya kecil. Sebelum ia benar-benar sadar, rasa-rasanya ada sebuah tangan berbulu yang menyentuh jemari kanannya. Sentuhan ini benar-benar semakin mengejutkan dan menyadarkannya secara mendadak, penuh rasa takut.



Segera saja ia menghidupkan lampu. Di sampingnya, si Meong menatap tidak seperti biasanya. Tatapannya tajam, seolah ikut meneror perasaan yang baru saja dilanda mimpi buruk. Ketika dicoba untuk mengelus kepalanya, kucing itu mendadak sigap mengambil kuda-kuda penyerangan dengan membuka mulutnya lebar. Ratih terkejut si Meong bertingkah aneh.



Ratih langsung saja mengusir kucing itu dari ranjangnya dengan sekali lempar. Menggelepar di lantai, kucing itu menatapnya benci. Dengan pikiran takut, Ratih mematikan lampu kamarnya lagi. Dalam keremangan cahaya, terlihat olehnya kucing itu semakin membesar, dan akhirnya membentuk suatu tubuh yang sedang berjongkok.



“SIAPA KAMU?” teriak Ratih tanpa kendali.



“Aku Anan.” Jawabnya pelan. Bayangan itu mendekat ke ranjang.



“Berhenti!!! Berhenti kamu di sana, jangan mendekat!!”



“Ratih, aku hanya ingin kamu lakukan satu hal,” katanya dengan intonasi jelas dan volume yang kecil sambil terus mendekati Ratih yang ketakutan.



“Dari mana kamu tahu namaku?” pertanyaan bodoh Ratih lancar keluar.



“Kartu perpustakaanmu asli, kan?” seringai makhluk itu mendetakkan jantung Ratih berkali-kali lipat. Kemudian, laki-laki menyeramkan ini menghambur ke ranjang Ratih, sigap menyekap mulut perempuan itu sebelum ia berteriak. “Tolong, kuburkan aku. Jangan jual aku kepada temanmu, Ratih. Apalah arti uang yang banyak tanpa ketenangan, Sayang?”



Bayangan Ratih tiba-tiba melesat seperti anak panah menuju pada suatu ruangan berkumpar cahaya. Ketika mulai nyaman dilihat, matanya menangkap bayangan Susi sedang praktek di laboratorium. Objek penelitiannya sudah terbelah menjadi dua. Merah kental darah menodai kain putih seprai ranjang dan bau amis yang membau sengat menakuti Ratih dalam bayang yang berulang. Bagian saat Susi dengan jelas membelah dada mayat itu seperti slow motion yang memang ditujukan khusus agar dilihat oleh Ratih. Bayangan itu berulang-ulang memenuhi benaknya. Membasahi tengkuk dengan keringat dingin ketika jelas sekali dilihatnya lumuran darah merah yang kental menetes dari dada mayat Anan.



Ketika pandangannya tertuju pada wajah si mayat, ia terperangah karena mayat itu membuka mata, memandang tajam ke arahnya dengan kedipan lambat. Lalu mimik wajah itu berubah sendu, memohon keselamatan. Pelan sekali, jemarinya yang bergetar menyentuh sesuatu yang dingin. Ratih terkejut dan menoleh. Di sampingnya, bayangan Anan tengah meraih dan menggenggam tangannya. Bulu roma di tengkuk Ratih perlahan meremang.



“Lihatlah, Tih, jangan jeri. Lihatlah apa yang dilakukan temanmu terhadapku,” bisik Anan tepat di telinga gadis itu. Pelan sekali Anan membelai punggung Ratih, menjalari rasa dingin dan cekam yang teramat.



Pandangan mata Ratih silau oleh cahaya. Ia kembali ke kamarnya, dengan keadaan berbaring di ranjang, dan dibelai-belai oleh Anan.



“Kuburkan aku, Ratih. Aku hanya ingin mati dengan tenang dan penguburan yang layak. Kelak, saat kamu mati, kamu akan merasa hal yang sama,” bisiknya dengan ratapan memilukan. Ia melepaskan tubuh Ratih. Hawa dingin perlahan melayang. Lalu, bayangan Anan menghilang.



Keringat dingin melumuri sekujur tubuh Ratih. Nafasnya masih tidak beraturan begitu ia benar-benar kembali pada kenyataan. Mimpi buruk baru saja berlipat-lipat. Ia bangun dari mimpi di dalam mimpi. Lalu, ia masih bingung apakah dia benar-benar sudah terbangun atau masih dalam mimpi. Maka dinyalakannya lampu. Tak ada siapa-siapa.



“Anan?” panggilnya dengan suara bergetar.



Tak ada jawaban.



*****