Oleh: Shelvia
Tumpukan segepok uang di atas meja membuat
Ratih tiba-tiba merasa mual. Semenit yang lalu ketika temannya meletakkan uang
itu, perasaannya masih senang, entah mengapa sepeninggal Susi hatinya menjadi
tidak karuan. Ratih merasa takut bahkan hanya sekedar melirik. Tumpukan
kertas-kertas berharga itu seolah memarahinya keras sekali, mengundang
kepanikan yang menyerang tepat pada dada perempuan berambut panjang itu. Debar
jantungnya meningkat seiring dengan semakin lama ia menatap uang pemberian Susi
atas sebuah mayat.
Sebuah gerakan cepat membuatnya terlonjak
dari kursi sofa. Si Meong bergerak-gerak di pangkuan Ratih dan menggosokkan
kepalanya berulang kali pada kaki tuannya, berusaha mencari perhatian. Segera
saja gadis itu memeluk si Meong yang mendengkur keras sekali. Ia berdiri,
kesulitan mengendalikan keagresifan si Meong dalam pelukannya seraya mengambil
tumpukan uang di atas meja.
Ratih menggendong si Meong dan kerepotan
membawa uang itu ke kamar tidur. Begitu masuk kamar, tiba-tiba ia mendengar
pintu terbanting keras dan tertutup. Ratih terkejut, menjatuhkan tumpukan uang
dan kucingnya yang langsung berlari. Gadis itu menoleh ke belakang memandang
pintu yang ternyata masih terbuka. Tubuhnya gemetar oleh rasa takut yang
semakin meningkat. Perlahan, ditutupnya pintu itu pelan-pelan dengan memejamkan
mata. Ketika ia membuka mata, Ratih berteriak tertahan melihat bayangan putih
berambut panjang. Rasa jengkel dan takut menguasai hatinya. Menyesal telah memasang
cermin di balik pintu, menyesal memakai daster terusan berwarna putih, dan menyesal
tidak memotong rambut.
Gadis itu menyusul si Meong di atas ranjang,
melupakan uang yang berserakan. Memeluk kucingnya erat-erat, Ratih sangat tidak
nyaman berbaring di sana. Maka ia bangun, memperhatikan kamarnya dari sudut
satu ke sudut yang lain. Secara fisik kamar ini memang kamarnya, tetapi hawa
dan nuansa yang terasa bukan lagi sebagai kamar seperti biasanya. Entah mengapa
ada hawa lain yang terembus. Hawa ketakutan, dingin, mencekam. Hawa rasa
bersalah. Diperhatikannya jam dinding yang rasanya berdetak terlalu lambat.
Apakah baterai jam dinding itu sudah habis? Masih terlalu sore untuk
menenggelamkan diri dalam mimpi di atas ranjang. Mama dan Papa juga belum pulang.
Ratih mengumpat dalam hati menyesal telah menemui Reno hari ini.
Tadi siang, seorang lelaki tampan berkumis
tipis bermata sipit kekasih Ratih yang dicintai dan dibanggakannya
habis-habisan itu memutuskan hubungan secara sepihak. Mendengarnya, antara terkejut
dan marah, Ratih gelap mata. Ia langsung pulang mengendarai mobilnya dengan
kalap, sehingga pada suatu jalan yang sepi, ia menabrak seorang pemuda yang
sedang menyeberang jalan. Gadis itu keluar dari mobil dengan kepanikan
menjadi-jadi sambil mengamati lingkungan. Sama sekali tidak ada kendaraan lain
yang lewat.
Darah yang mengalir dari kepala pemuda itu
menggetarkan perasaan Ratih, merembet menggetarkan bibirnya. Gadis itu menangis
sendiri, betapa ia menyesal telah berkendara ugal-ugalan. Takut-takut, ia
mendekati pemuda itu dan mengamati wajahnya yang rasa-rasanya tidak asing.
Ratih mengambil tas kumal berdarah milik pemuda ini. Tak ditemukan barang lain
kecuali sebuah rajutan sapu tangan berenda bertuliskan sebuah kata: Anan.
Sambil meredam degub jantungnya yang tidak
beraturan, Ratih memberanikan diri memandang wajah lelaki itu. Seketika ia
terlanda rasa kejut yang teramat. Ia merasa pernah melihat lelaki ini di
sekitar kampus. Tepatnya berada di perpustakaan. Terbayang waktu itu dirinya
sedang kebingungan dengan birokrasi peminjaman buku di perpustakaan, sedangkan
buku itu harus cepat dibaca, laki-laki itu datang. Tidak mengenal sebelumnya,
tiba-tiba merebut buku dan kartu pinjam perpustakaan Ratih, lalu mengurusnya
pada pelayan perpustakaan dengan cepat. Diam. Tanpa kata. Setelah itu ia memberikan
buku itu, lalu pergi. Tanpa sapa. Tanpa basa-basi. Sungguh pria pendiam.
Misterius.
Ratih menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha
mengusir bayangan kebaikan pemuda itu di tengah kebingungan yang melandanya
sendirian. Dan apa balasan yang diberikannya? Memberikan kematian tanpa
aba-aba. Tanpa sempat ia mengucapkan terima kasih dan beribu maaf. Semua ini
karena Reno!
Tangan gadis itu bergetar menggenggam sapu
tangan Anan. Telepon genggamnya bernyanyi kecil di saku belakang. Ia segera
menjawabnya.
“Kamu di mana, Tih?” sapa Susi di seberang
sana.
Oh, Susi! Ia tahu seketika bagaimana
mengatasi masalahnya sekarang. Segera saja Ratih memberitahukan lokasi
sekaligus bernegoisasi mengenai tawaran uang yang tinggi. Susi kegirangan
mendengar ucapan Ratih dan segera saja menyusulnya.
***
Siluet cahaya mengantarkan Ratih bertemu
dengan Anan di depan perpustakaan. Ketika ia masih bingung dengan keadaan ini,
pemuda itu sudah tersenyum padanya. Senyum yang indah, Ratih baru menyadari
bahwa Anan adalah lelaki berwajah tampan. Lihatlah giginya yang gingsul manis
itu. Lama, ditatapnya Anan penuh kebingungan sekaligus kekaguman. Laki-laki menawan
itu mendekatinya.
“Gimana dengan bukunya tadi? Maaf ya, aku
sedang buru-buru, jadi kurebut saja bukumu tadi.” Katanya lembut.
Ratih hanya menunduk, lalu mengangguk kecil.
Tersenyum malu.
“Namaku Ananta. Siapa namamu?”
Tangan Anan menjulur lembut, tetapi secara
perlahan tangan itu bukan berniat ingin berjabat, malah semakin mendekat pada
leher Ratih. Senyumnya yang tulus berubah menjadi seringaian menyeramkan.
Tiba-tiba giginya yang gingsul manis itu semakin memanjang menjadi taring
runcing yang berebut keluar dari mulutnya.
“KEMBALIKAN JASADKU!”
Kumparan cahaya menarik tubuh Ratih kembali
menuju kenyataan melewati lorong-lorong gelap bertitik satu cahaya kecil.
Sebelum ia benar-benar sadar, rasa-rasanya ada sebuah tangan berbulu yang
menyentuh jemari kanannya. Sentuhan ini benar-benar semakin mengejutkan dan menyadarkannya
secara mendadak, penuh rasa takut.
Segera saja ia menghidupkan lampu. Di
sampingnya, si Meong menatap tidak seperti biasanya. Tatapannya tajam, seolah
ikut meneror perasaan yang baru saja dilanda mimpi buruk. Ketika dicoba untuk
mengelus kepalanya, kucing itu mendadak sigap mengambil kuda-kuda penyerangan
dengan membuka mulutnya lebar. Ratih terkejut si Meong bertingkah aneh.
Ratih langsung saja mengusir kucing itu dari
ranjangnya dengan sekali lempar. Menggelepar di lantai, kucing itu menatapnya
benci. Dengan pikiran takut, Ratih mematikan lampu kamarnya lagi. Dalam
keremangan cahaya, terlihat olehnya kucing itu semakin membesar, dan akhirnya
membentuk suatu tubuh yang sedang berjongkok.
“SIAPA KAMU?” teriak Ratih tanpa kendali.
“Aku Anan.” Jawabnya pelan. Bayangan itu
mendekat ke ranjang.
“Berhenti!!! Berhenti kamu di sana, jangan
mendekat!!”
“Ratih, aku hanya ingin kamu lakukan satu
hal,” katanya dengan intonasi jelas dan volume yang kecil sambil terus
mendekati Ratih yang ketakutan.
“Dari mana kamu tahu namaku?” pertanyaan
bodoh Ratih lancar keluar.
“Kartu perpustakaanmu asli, kan?” seringai
makhluk itu mendetakkan jantung Ratih berkali-kali lipat. Kemudian, laki-laki
menyeramkan ini menghambur ke ranjang Ratih, sigap menyekap mulut perempuan itu
sebelum ia berteriak. “Tolong, kuburkan aku. Jangan jual aku kepada temanmu,
Ratih. Apalah arti uang yang banyak tanpa ketenangan, Sayang?”
Bayangan Ratih tiba-tiba melesat seperti anak
panah menuju pada suatu ruangan berkumpar cahaya. Ketika mulai nyaman dilihat,
matanya menangkap bayangan Susi sedang praktek di laboratorium. Objek
penelitiannya sudah terbelah menjadi dua. Merah kental darah menodai kain putih
seprai ranjang dan bau amis yang membau sengat menakuti Ratih dalam bayang yang
berulang. Bagian saat Susi dengan jelas membelah dada mayat itu seperti slow motion yang memang ditujukan khusus
agar dilihat oleh Ratih. Bayangan itu berulang-ulang memenuhi benaknya.
Membasahi tengkuk dengan keringat dingin ketika jelas sekali dilihatnya lumuran
darah merah yang kental menetes dari dada mayat Anan.
Ketika pandangannya tertuju pada wajah si
mayat, ia terperangah karena mayat itu membuka mata, memandang tajam ke arahnya
dengan kedipan lambat. Lalu mimik wajah itu berubah sendu, memohon keselamatan.
Pelan sekali, jemarinya yang bergetar menyentuh sesuatu yang dingin. Ratih
terkejut dan menoleh. Di sampingnya, bayangan Anan tengah meraih dan
menggenggam tangannya. Bulu roma di tengkuk Ratih perlahan meremang.
“Lihatlah, Tih, jangan jeri. Lihatlah apa
yang dilakukan temanmu terhadapku,” bisik Anan tepat di telinga gadis itu.
Pelan sekali Anan membelai punggung Ratih, menjalari rasa dingin dan cekam yang
teramat.
Pandangan mata Ratih silau oleh cahaya. Ia
kembali ke kamarnya, dengan keadaan berbaring di ranjang, dan dibelai-belai
oleh Anan.
“Kuburkan aku, Ratih. Aku hanya ingin mati
dengan tenang dan penguburan yang layak. Kelak, saat kamu mati, kamu akan
merasa hal yang sama,” bisiknya dengan ratapan memilukan. Ia melepaskan tubuh
Ratih. Hawa dingin perlahan melayang. Lalu, bayangan Anan menghilang.
Keringat dingin melumuri sekujur tubuh Ratih.
Nafasnya masih tidak beraturan begitu ia benar-benar kembali pada kenyataan.
Mimpi buruk baru saja berlipat-lipat. Ia bangun dari mimpi di dalam mimpi.
Lalu, ia masih bingung apakah dia benar-benar sudah terbangun atau masih dalam
mimpi. Maka dinyalakannya lampu. Tak ada siapa-siapa.
“Anan?” panggilnya dengan suara bergetar.
Tak ada jawaban.
*****